Baca Puisi Kritik Butuh “bumbu”


Surabaya, SEMARANG Post - Taufiq Ismail (88 tahun), dan penyair celurit emas dari Sumenep, D. Zawawi Imron (78 tahun) tampil menawan secara bergantian membacakan karya-karyanya di Auditorium Tower lantai 9, Universitas Nahdlatul Ulama (Unusa) Surabaya pada Senin 29 Mei 2023.

Mengusung tema Kebangkitan Bangsa Bebas dari Korupsi, dirangkaian hari Kebangkitan Nasional parade diramaikan jajaran pejabat dan dosen Unusa serta sejumlah penyair Jawa Timur, sepert Prof. Kacung Marijan, Dr. Suhermono Kasiyun M.Pd, PD. Hermono, Aming Aminuddin, Shoim Anwar, Susilo Basuki, Hesti Palestina, Gatot Stren Kali, dan lainnya.

Mmeski dikawan tongkat, dua penyair tersebut merupakan aset bangsa tersebut, sebab penyair besar adalah penjaga jiwa, perawat hati nurani masyarakat dan bangsanya. Melalui untaian kata mereka jalankan darmanya, .memberi penyadaran, pelembutan rasa, juga penghiburan. 

Penyair juga mengkritisi ketimpangan, mengutuk nafas zaman yang busuk. Darinya kata tidak sekadar retorika klise karena ditulis sepenuh jiwa dan diolah dengan originalitas kepenyairannya. Maka yang hadir adalah mata air, inspirasi yang menyulut, sekaligus alarm peringatan yang berdaya gugat. 

Dengan puisi, aku bernyanyi 
Sampai senja umurku nanti 
Dengan puisi, aku bercinta 
Berbatas cakrawala 
Dengan puisi, aku mengenang 
Keabadian yang akan datang 
Dengan puisi, aku menangis 
Jarum waktu bila kejam mengiris 
Dengan puisi, aku mengutuk 
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi, aku berdoa 
Perkenankanlah kiranya
(Taufiq Ismail, pernah dilagukan Bimbo) 


Giliran penyair D. Zawawi menghidupkan panggung dengan pantun dan puisi satir menyentil para  koruptor. salah satunya:

Ketika hujan mengguyur 
Basah kuyup orang yang jujur
Basah kuyup juga orang yang tidak jujur
Tetapi yang lebih banyak basah kuyub adalah orang yang jujur.
Kenapa? Kenapa?
Karena payung orang yang jujur telah habis dicuri oleh orang yang tidak jujur.
Tetapi kalau hujan itu berkah perlambang rahmat
Hujan rahmat hanya akan membasahi orang yang jujur saja
Orang-orang yang tidak jujur tidak pernah akan basah oleh hujan rahmat
Kenapa? Kenapa?
Karena merekalah yang menolak hujan rahmat dengan payung-payung hasil curiannya itu.

Tidak hanya mengulas koruptor, Zawawi menebar pesan pentingnya budi pekerti, adab anak kepada bapak ibu serta kepada guru, seraya menyitir “puisi” Imam Syafini dan kata bijak pada ulama terdahulu.

Acara parade puisi berlangsung sukses, melegakan, karena uneg-uneg, kejengkelan,  dan aspirasi penonton tersalurkan lewat bait sajak yang disuarakan sejumlah penyair.  Harus diakui, pentas puisi kritik saat ini tidak seheboh penampilannya  saat zaman Orde Baru dulu.

Dulu, untuk lantang teriakkan kritik di tengah sistem politik yang represif dan rezim militeristik seperti itu, butuh nyali rangkap.  Tidak semua penyair memiliki,  saat ada penyair tatag teriakkan sindiran pedas memerahkan kuping penguasa, maka yang terjadi adalah katarsis. Penonton bersorak, lantaran ganjalan yang menyumbat hati tersalurkan lepasan. Penonton, suporter unjuk rasa, tanpa takut risiko diciduk. 

 Rupanya, untuk menjadi tontonan seru dan tegang, pembacaan puisi kritik membutuhkan “bumbu” intimidatif secukupnya. Tetapi di era medsos, di mana semua orang dapat seenaknya menyinyiri dan mencaci maki penguasa negeri, agaknya kritik lewat puisi menjadi berkurang daya gigitnya. Begitukah? (ono)

Kontributor: Sasetya Wilutama
Editor: Anast
Lebih baru Lebih lama
CLOSE ADS
CLOSE ADS