Yaqut Cholil Qoumas : Menjaga Jiwa Adalah Kewajiban Yang Harus Diutamakan



Jakarta, SEMARANG Post - Kasus harian di Indonesia dari 26 hingga 31 Mei, misalnya, rata-rata masih di atas 5.000. Ada sedikit penurunan pada 1 Juni 2021, tapi masih di angka 4.824. Sementara, kasus harian di 11 negara pengirim jemaah terbesar per 1 Juni juga relatif masih tinggi dengan data sebagai berikut: Saudi (1.251), Indonesia (4.824), India (132.788), Pakistan (1.843), Bangladesh (1.765), Nigeria (16), Iran (10.687), Turki (7.112), Mesir (956), Irak (4.170), dan Aljazair (305). Untuk negara tetangga Indonesia, tertinggi kasus hariannya per 1 Juni 2021 adalah Malaysia (7.105), disusul Filipina (5.166), dan Thailand (2.230). Singapura, meski kasus harian pada awal Juni adalah 18, sudah memutuskan tidak memberangkatkan jamaah haji, sementara Malaysia memberlakukan lockdown. 


Menurut Menag Yaqut Cholil Qoumas, agama mengajarkan bahwa menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan. Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah juga memberikan amanah kepada pemerintah untuk melaksanakan tugas perlindungan. Karenanya, faktor kesehatan, keselamatan, dan keamanan jamaah menjadi faktor utama.


“Ini semua menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan kebijakan. Apalagi, tahun ini juga ada penyebaran varian baru Covid-19 yang berkembang di sejumlah negara,” kata Menag Yaqut Cholil Qoumas. 


Melengkapi pernyataannya, Menag Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa penyelenggaraan haji merupakan kegiatan yang melibatkan banyak orang yang berpotensi menyebabkan kerumunan dan peningkatan kasus baru Covid-19.


Seperti dilansir dari laman republika.co.id, di sisi lain, Menag menjelaskan bahwa sampai hari ini pemerintah Arab Saudi yang bertepatan dengan 22 Syawwal 1442 H, juga belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M.


"Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara. Jadi, sampai saat ini belum ada negara yang mendapat kuota karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan," ujar Menag menegaskan.


Kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Sebab, berbagai persiapan yang sudah dilakukan, belum dapat difinalisasi. Untuk layanan dalam negeri, misalnya kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.


Demikian pula penyiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, belum bisa difinalisasi karena belum ada kepastian besaran kuota, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji dan lainnya.


"Itu semua biasanya diatur dan disepakati dalam MoU antara negara pengirim jmaah dan Saudi. Nah, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan," tuturnya.


"Padahal, dengan kuota 5 persen dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari," ujarnya.


Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah dampak dari penerapan protokol kesehatan yang diberlakukan secara ketat oleh Saudi karena situasi pandemi. Pembatasan itu bahkan termasuk dalam pelaksanaan ibadah.


Berkaca pada penyelenggaraan umrah awal tahun ini, pembatasan itu, antara lain, larangan salat di Hijir Ismail dan berdoa di sekitar Multazam. Shaf saat mendirikan salat juga diatur berjarak. Ada juga pembatasan untuk sholat jamaah, baik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.


"Pembatasan masa tinggal juga akan berdampak, utamanya pada penyelenggaraan Arbain. Karena masa tinggal di Madinah hanya tiga hari, maka dipastikan jamaah tidak bisa menjalani ibadah Arbain," ujarnya menerangkan.


Menag menambahkan, pembatalan keberangkatan jamaah ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia (WNI), baik dengan kuota haji Indonesia maupun kuota haji lainnya. Jamaah haji, reguler dan haji khusus, yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun 1441 H/2020 M, akan menjadi jamaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji 1443 H/2022 M.


“Setoran pelunasan BPIH dapat diminta kembali oleh jamaah haji yang bersangkutan. Jadi, uang jamaah aman. Dana haji aman. Indonesia juga tidak punya utang atau tagihan yang belum dibayar terkait haji. Info soal tagihan yang belum dibayar itu hoaks," ungkapnya.


Menag menyampaikan simpati kepada seluruh jamaah haji yang terdampak pandemi Covid-19 tahun ini. Untuk memudahkan akses informasi masyarakat, selain Siskohat, Kemenag juga telah menyiapkan posko komunikasi di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Kemenag juga tengah menyiapkan WA Center yang akan dirilis dalam waktu dekat.


“Keputusan ini pahit. Tapi, inilah yang terbaik. Semoga ujian Covid-19 ini segera usai,” ujar Menag Yaqut Cholil Qoumas.


Editor: Anast
Sumber: republika.co.id



Lebih baru Lebih lama
CLOSE ADS
CLOSE ADS